Minggu, 26 April 2015

Ayah yang Menjadi Anak Bungsu

Drs. Tri Raharjo MPd. tidak ada yang spesial dari nama tersebut, memang. Tapi itu berlaku untuk 99,9 persen penduduk dunia ini. Sedangkan bagi 0,1 persen bagian lainnya, nama itu sangatlah berarti. Ya, aku tegaskan kembali, sangat berarti karena nama itu merupakan tulang punggung keluarga kami. Tentu saja aku yakin setiap nama memiliki arti penting setidaknya bagi sebagian kecil penduduk dunia yang mulai menua ini. Tapi mungkin itu tidak berlaku bagi public figure atau tokoh panutan yang namanya bisa jadi penting bagi 30% atau bahkan 50% penduduk dunia. Sebut saja sebagai contoh nama Muhammad SAW yang namanya begitu penting bagi masyarakat muslim di seluruh dunia, atau Paus Paulus panutan terbesar umat Katholik. Pun tidak terkecuali penyanyi besar sekelas Michael Jackson yang meski telah tiada, namanya masih mempunyai arti penting bagi penggemarnya yang pasti tidak sedikit tersebar seantero jagad.

 Berbeda dengan nama-nama yang aku sebutkan sebelumnya, ayahku bukanlah orang suci ataupun artis besar. Beliau hanya seorang ayah dari 3 orang anak dan suami dari seorang istri yang telah lebih 30 tahun menemaninya. Bagi kami, tentu saja beliau adalah sosok panutan yang kami hormati, artis dalam rumah yang sering kali saat makan malam sukses besar membuat tawa kami meluncur lepas ditengah jenuhnya rutinitas harian yang baru saja dilalui. Yah, memang sih terkadang leluconnya terdengar tidak lucu, tapi kami tetap berhasil dibuatnya terbahak melihat ekspresinya ketika menyadari guyonannya terasa garing. Salah satu momen yang paling aku ingat adalah saat kami menghabiskan malam minggu di bulan Mei dua tahun lalu, berkumpul di ruang keluarga sambil menyantap kue buatan ibu. 
 “Kalian tahu tidak kenapa jerapah lehernya panjang?”
 “Esya tahu! Karena dedaunan yang menjadi makanan kesukaan jerapah letaknya tinggi di ranting pohon jadi lama-lama lehernya juga memanjang supaya bisa mencapai dedaunan itu. Begitu kata bu Susi guru biologi Esya.” Aku menjawab antusias pertanyaan ayah. 
“Hmmm, bukan itu jawaban yang Ayah maksud. Hayo, ada lagi yang tahu jawabannya?”
 “Udah ayah langsung kasih tahu aja jawabannya apa.”
 Rene kakak pertamaku tidak sabar mendengar jawaban ayah
 “Ah, payah kalian ngga ada yang bisa jawab. Yang benar jawabannya adalah karena kalau hidungnya yang panjang namanya Pinokio. Hahahaha...”
 Ayah terlihat tertawa puas sekali karena tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Sedangkan kami berempat untuk beberapa detik terdiam saling bertatapan kemudian baru meledaklah tawa kami. Bukan karena lucunya jawaban ayah, tapi justru karena geli melihat tingkah ayah yang tidak menyadari bahwa leluconnya sama sekali tidak lucu. (Maafkan kami, Yah... hehehe) 

Dibalik profesinya sebagai seorang guru selama 35 tahun, dari dulu ayah memang terkenal sebagai pribadi yang santai, humoris, tetapi tetap tegas dan bijaksana. Karena itulah beliau menjadi sosok panutan dan idola di keluarga, mungkin juga di tempatnya bekerja dulu. Aku sangat bangga bisa memanggilnya Ayah. Keyakinanku pun besar bahwa Mbak Rene dan Mas Ditya pun juga pasti merasakan hal yang sama. Apalagi bagi ibu, tak pernah terlihat ada keraguan sedikitpun tentang betapa besar rasa hormat dan cinta pada suaminya yang meskipun sekarang lebih terlihat seperti anak keempatnya.

Bulan September dua tahun silam, di minggu sore yang terasa tidak seperti biasanya, kami sekeluarga terpaksa pergi ke rumah sakit daerah di pusat kota Surabaya. Tanpa sempat memikirkan hal lainnya, Mas Ditya langsung menyambar kunci mobil yang tergantung di dinding ruang keluarga, Mbak Rene terlihat sangat kesusahan membantu ibu memapah tubuh ayah.

     “Dityaaaa... Bantuin!” teriakan Mbak Rene terdengar penuh kecemasan.

Maka setelah berhasil menyalakan mobil, Mas Ditya langsung berlari menghampiri ibu dan Mbak Rene yang berada di kamar ayah. Sementara aku, berdiri terpaku dengan pipi basah di sudut ruangan itu menyaksikan mereka bertiga berjuang mengangkat tubuh ayah untuk dibawa ke dalam mobil. Saat itu aku masih kelas 2 SMP dan sangat bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saking bingungnya aku hanya bisa berdiri tak bergerak tapi terus meneteskan air mata. Yang memenuhi kepalaku hanya kesedihan, kecemasan, dan ketakutan. Melihat tubuh seseorang yang dicintai kejang-kejang dan kemudian jatuh tak berdaya membuat semua akal sehat bersembunyi.
 
   “Esya, ayo cepat masuk mobil!” perintah ibu dari dalam mobil tak mendapat respon dariku yang masih mematung di sudut kamar.
  “Esyaaa! Esyaaa! Ayooo cepat!” ibu terus meneriaki ku sampai akhirnya otakku bisa bekerja kembali.
    “Iii iiyaa Bu. Esya kunci dulu semua pintu rumah.”
Segera aku berlari ke arah pintu depan dan belakang untuk mengunci kedua nya. Tidak sampai 5 menit aku sudah berada di samping ibu di dalam mobil. Mbak Rene duduk di depan dengan Mas Ditya yang segera memacu mobil menuju ke rumah sakit daerah Surabaya.

    “Ayah..ayah...” ibu terus mencoba membangunkan suami yang berada di sampingnya.
 
Namun sama sekali tidak ada respon atas panggilannya. Tak ayal air mata turun dari mata sipit ibu yang biasanya selalu cerah penuh kebahagiaan. Seumur hidup aku tidak pernah melihat ibu seperti ini, wanita kuat dengan sifat lemah lembut yang setiap hari wajahnya dihiasi senyuman, sekarang terlihat sangat rapuh, layu bagai melati diterpa angin kemarau. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain ikut menangis dan memeluk ibu dengan erat. Aku tahu mungkin isak tangisku ini hanya menambah kesedihan ibu. Tapi apa yang bisa diharapkan dariku, anak umur 13 tahun yang tidak pernah melihat masalah besar memasuki kehidupan keluarganya.

Perjalanan dari rumah menuju rumah sakit terasa begitu panjang, bahkan lebih terasa seperti perjalanan antara hidup dan mati. Begitu sampai di depan pintu unit gawat darurat (UGD), mbak Rene langsung turun dan memanggil perawat untuk membantu kami membawa ayah. 2 orang perawat pun langsung menghampiri mobil kami sambil membawa ranjang dorong. Dengan sigap mereka membawa ayah menuju ruang gawat darurat, dan kami bertiga pun berlarian mengikuti dari belakang. Di depan pintu ruang gawat darurat langkah kaki kami berhenti. Perawat tidak mengijinkan siapapun ikut masuk ke dalam.
   
     “Mohon maaf, sementara dokter memeriksa, ibu dan putrinya tunggu dulu di luar.”
Ucapan perawat bertubuh tinggi itu menambah kekhawatiran kami. Bagaimana kira-kira keadaan ayah? Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh ayah? Sampai kapan ayah tidak sadarkan diri? Apakah setelah ini ayah akan baik-baik saja? Begitu banyak pertanyaan muncul di benakku seperti ingin meledak.
    “Ibu, bagaimana keadaan ayah?” kak Ditya yang baru saja memarkirkan mobil datang menghampiri ibu dengan rasa cemas yang tidak berkurang sejak awal kejadian ini.
      “Masih diperiksa dokter di dalam Dit. Kita ngga ada yang diperbolehkan masuk. Ibu jadi khawatir sekali sama ayahmu.”
         “Kita berdoa saja Bu untuk ayah. Semoga ayah baik-baik saja. Hanya itu yang sekarang bisa kita lakukan untuk ayah.”
         “Mbak Rene benar Bu. Ditya yakin semua akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Ayah akan menjadi ayah kita seperti biasanya.”
          “Ibu jangan menangis lagi yaa. Esya jadi ikutan sedih.”
Tidak seperti kedua kakakku yang bisa memberi ketenangan, aku hanya bisa berkata apa yang aku rasakan.
          “Iya Esya, ibu tidak akan menangis lagi. Kamu jangan sedih yaa. Maaf sudah membuatmu ikut menangis. Sini sayang.” Ibu memelukku dengan lembut dan sedikit kekuatan mulai kurasakan mengalir dari dekapan tangannya yang terasa dingin.

Begitulah ibu, beliau memang seorang wanita yang kuat dan penuh kasih sayang. Sebagai seorang wanita, aku ingin tumbuh dewasa seperti sosok ibuku ini. Mungkin begitu pula keinginan seluruh anak gadis di dunia ini, menjadi seperti ibu mereka. Sudah 30 menit dokter dan perawat-perawat ini bersama ayah. Rasanya waktu yang berjalan begitu lambat menyiksa kami berempat. Tiba-tiba pintu ruang UGD terbuka. Seorang laki-laki dengan baju serba hijau, keluar sambil membuka masker penutup mulutnya.
          “Dokter, bagaimana keadaan ayah kami? Semua baik-baik saja kan Dok?” Mas Ditya langsung memburu dokter berkacamata itu dengan rentetan pertanyaan.
         “Bagaimana suami saya Dok? Kami bisa melihatnya sekarang?”
     “Bapak sudah melewati masa kritisnya tapi belum sadar. Kalian bisa melihatnya asal tetap menjaga ketenangan di dalam. Sebelumnya, bisa saya bicara dengan Ibu? Ada beberapa hal yang mau saya jelaskan.”
      “Oh begitu, baik Dok. Rene, Ditya, ajak Esya menemui ayah kalian. Ibu harus bicara dulu dengan dokter, nanti ibu menyusul.”
Maka aku dan kedua kakakku masuk ke ruang berkelambu hijau dimana ayah sedang tertidur pulas sekali dengan infus ditangan kiri nya. Melihat ayah seperti itu tidak pernah terbayangkan dalam benakku sebelumnya. Yang ada di bayanganku hanya wajah ayah yang selalu tersenyum, tertawa, terkadang sedikit marah saat diantara kami ada yang berbuat nakal. Ayah yang sekarang aku lihat benar-benar berbeda. Tubuhnya pucat, lemah, meski masih ada senyuman diwajahnya yang tak sadarkan diri selama beberapa jam.

      “Silakan duduk Bu. Ada yang mau saya bicarakan dengan Ibu.”
     “Soal kondisi suami saya Dok? Semua baik-baik saja kan Dok?”
    “Sampai saat ini kondisi suami ibu baik-baik saja. Tidak ada penyakit jantung, diabetes, stroke, atau penyakit dalam lainnya. Tapi ada yang saya khawatirkan.”
     “Apa itu Dok? Bukankah kata dokter semua baik-baik saja?”
    “Memang, tapi melihat kondisi bapak yang sempat kejang dan mendadak jatuh pingsan, saya khawatir ada yang salah dengan saraf kepala suami Ibu. Tapi ini masih dugaan sementara saya. Semua akan lebih jelas saat bapak sudah siuman. Semoga saja memang tidak ada yang salah dengan kondisi bapak.”
    “Dugaan apa itu Dok? Apa yang sebenarnya dokter khawatirkan?”
   “Saya belum berani menjelaskan lebih lanjut Bu. Kita lihat kondisi bapak saja nanti. Sekarang kalau ibu mau lihat kondisi bapak, saya persilakan.”
   “Baiklah kalau begitu Dok. Saya permisi dulu.”
Tak berapa lama, ibu menyusul kami bertiga menemani ayah di ruangan yang bau nya khas itu. Aku paling tidak suka bau seperti ini, bau obat dan rumah sakit. Ketika melihat ibu melangkahkan kaki masuk, aku melihat sedikit kecemasan di mata nya yang mulai sayu. Meski begitu, saat melihat wajah ayah dan kami bertiga berkumpul, ibu menunjukkan segaris senyuman lembut di wajahnya.
     “Ayah kalian tetap ganteng ya.”
   “Hmmm, iya bu. Rene juga berfikiran yang sama seperti ibu. Ayah tetap seperti ayah kita yang ganteng.”
    “Dokter bicara apa saja tadi Bu? Ditya lihat sepertinya ada yang penting ingin disampaikan dokter.”
     “Oh, bukan apa-apa kok Dit. Kalian tidak perlu cemas. Dokter hanya menyampaikan kondisi ayah kalian saat ini. Kata dokter semua baik-baik saja, kita hanya harus berdoa semoga ayah segera sadar.”
     “Syukurlah kalau begitu. Ditya hanya khawatir kalau ada apa-apa.”
    “Kita bersabar saja ya, tunggu ayah sadar. Eh, kalian pasti lapar kan belum makan dari tadi. Gimana kalau kalian bertiga beli makan dulu saja keluar, biar ibu yang jaga ayah. Biar muka kalian juga keliatan lebih fresh. Kasian tuh liat Esya kayak orang puasa 3 hari gitu.”
    “Ibu sendiri mau dibawakan makanan apa? Nanti biar sekalian kami bawakan baju ganti.”
   “Terserah kalian saja, ibu ngikut. Esya nanti kalau sudah makan tunggu di rumah saja ya sama mbak Rene. Besok baru kesini lagi pulang sekolah.”
   “Tapi Esya masih mau nemenin ibu jagain ayah.”
    “Udah ngga papa kan ada mas Ditya. Kamu tugasnya jaga rumah aja sama mbak Rene. Biar mas nanti yang disini sama ibu.”
    “Yasudah kalau begitu Bu, nanti biar Rene yang jagain Esya sama rumah. Besok pulang kuliah baru Rene ajak Esya lagi kesini. Kami pamit dulu ya bu.”
    “Iya, kalian hati-hati di jalan ya.”
                                                                            ****
Pulang sekolah aku dijemput mbak Rene naik motor, mampir sebentar ke rumah untuk ganti baju kemudian kami langsung meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan kabar ayah. Apa ayah sudah sadar, bagaimana kondisinya sekarang, apa ayah akan segera pulang. Semua pertanyaan itu berjejal di pikiranku, rasanya sungguh sesak. Bahkan semenjak semalam aku tidak bisa berhenti merasa cemas, rumah yang biasanya ramai tapi menenangkan, tiba-tiba berubah menjadi sepi sekaligus mendebarkan. Aku dan mbak Rene bergegas menuju kamar B317 tempat ayah di rawat sekarang. Tak sabar rasanya aku mendengar kabar tentang ayah. Aku harap begitu pintu kamar rawat terbuka, wajah tersenyum ayah sudah siap menyambut kami. Dan begitulah, ketika aku tanpa sabar membuka pintu berwarna biru itu, aku sudah melihat ayah duduk bersandar pada bagian belakang ranjang, disebelah ada ibu dan mas Ditya, serta dokter yang memeriksa gerakan mata ayah.

         Akhirnya ayah kembali!!

Teriakku dalam hati meski yang tergambar keluar hanya senyuman lebar. Aku dan mbak Rene berpegangan tangan bersama-sama mendekati ibu dan mas Ditya. Sepertinya aku juga merasakan senyum mbak Rene mengalir melalui genggaman tangannya.
       “Ayah sadar dari kapan Bu?”
      “Baru saja Sya. Makanya ini masih di periksa sama dokter.”
      “Esya senang akhirnya ayah bisa sadar kembali. Jadi rumah kita bakal ramai lagi.”
     “Iya Sya, ibu juga berharap gitu.” Rasanya ada yang aneh dari cara ibu menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi. Masih terasa ketakutan, kecemasan, dan harapan. Padahal ayah sudah sadar, kenapa ibu masih merasa cemas begitu? Pertanyaan ku itu semakin menjadi setelah aku mendengar dokter mengajak ibu berbicara secara terpisah dari kami.

       “Rupanya apa yang saya khawatirkan benar adanya Bu.”
    “Maksud dokter apa? Kenapa dengan suami saya? Bukannya suami saya sudah membaik?”
    “Secara fisik memang suami ibu baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi ada yang tidak benar dengan saraf di kepala suami ibu. Saya menduga ada beberapa saraf yang cedera atau rusak.”
   “Tapi suami saya tidak pernah mengalami benturan, kecelakaan atau hal lain yang kira-kira mencederai kepalanya Dok. Bagaimana bisa dokter bilang sekarang sarafnya ada yang rusak.”
     “Pada beberapa kasus yang tidak biasa memang bisa saja rusak nya saraf tidak diakibatkan oleh cedera fisik. Hal ini bisa saja terjadi memang karena kerusakan dari dalam. Bahkan dokter-dokter dari luar negeri pun masih meneliti kasus seperti suami ibu.”
    “Lalu apa akibatnya dari kerusakan saraf suami saya ini Dok? Saya lihat tadi sepertinya semua kondisinya normal saja.”
     “Memang Bu, semua kondisi fisik bapak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali. Tapi yang perlu ibu ketahui, kerusakan saraf ini sepertinya berpengaruh besar pada kondisi psikologis dan perilaku bapak.”
    “Maksud dokter?”
    “Maksud saya, kemungkinan bapak akan mengalami perubahan pola psikologis. Bapak juga akan mengalami gangguan fungsi sensor yang mempengaruhi gerakannya.”
   “Sampai berapa lama itu Dok?”
   “Untuk itu saya belum bisa memastikan Bu. Selama proses itu, saya menganjurkan bapak untuk terus menjalani pemeriksaan dan terapi. Untuk saat ini, bapak hanya perlu istirahat 1-2 hari saja di rumah sakit guna pemulihan kondisi fisiknya.”
    “Baiklah kalau begitu saya mengerti Dok.”
   “Saya harap ibu dan anak-anak bisa bersabar menghadapi kondisi bapak ke depan. Saya tinggal dulu ya Bu. Permisi...”
    “Iya silakan Dok, terima kasih.”

Sementara dari tadi ibu tampak sedang berbicara serius dengan dokter, aku mencoba mengajak ngobrol ayah yang aku lihat tatapannya maih kosong.
       “Ayah, gimana kondisi ayah sekarang? Esya kangen sama ayah.”
      “Iya betul Yah, Rene sama Ditya juga kangen. Sepi rumah ngga ada ayah.”
Dari pertanyaan kami tersebut, ayah tidak memberikan jawaban apapun. Tapi hanya tersenyum polos, sambil menatap kami bertiga. Tentu saja hal ini membuat kami terdiam seketika. Apa ayah sedang bercanda? Atau mungkin ayah sedang mengerjai kami seperti kebiasaannya dulu.
      “Ayah... ayah sedang bercanda ya?”
     “Sudah Sya, biar ayah istirahat dulu. Ayo ibu temani kalian makan siang di kantin rumah sakit.” Tanpa aku sadar ternyata ibu sudah berada di samping kami lagi dan segera mengajak kami pergi makan membiarkan ayah beristirahat di ranjangnya. Tentu saja bukan hanya untuk makan maksud ibu mengajak kami ke kantin rumah sakit ini. aku tahu pasti ada yang ingin ibu katakan pada kami soal kondisi ayah.
      “Ayah sebenarnya kenapa Bu? Dari tadi Esya ajak bicara ayah, tapi ayah tidak menjawab apa-apa.”
         “Esya, Rene, Ditya, ayah kalian baik-baik saja. Hanya untuk beberapa waktu ke depan mungkin akan ada yang berbeda dengan sikap ayah. Karena ada sedikit masalah dengan saraf kepala ayah. Jadi ibu minta, kalian bersabar saja ya menghadapi ini. Ibu yakin sekali ini hanya untuk sementara.”
     “Maksud ibu apa? Esya ngga ngerti.”
     “Sudah Esya, sekarang kita makan dulu aja yaa. Nanti pelan-pelan kamu juga akan ngerti. Mbak temani pesan makanan yuk.”
Begitulah mbak Rene, sebagai anak yang tertua dia selalu bisa menenangkan dan membantu ibu mengontrol suasana. Aku pun hanya bisa menurut dan mengikuti mbak Rene ke arah meja pemesanan. Sementara sambil terus berjalan, aku melihat mas Ditya sedang memegang pundak ibu. Aku tahu, mereka saling menguatkan.

Seperti itulah memang seharusnya sebuah keluarga. Saling melengkapi saat ada ada kurang menghinggapi, menguatkan saat hari mulai terasa melelahkan, dan menyatu meski terkadang dihadang berbagai ragu. Sudah dua tahun lebih semenjak hari di kantin rumah sakit, kami masih memegang kuat keyakinan itu. Bahwa semua akan terus baik-baik saja. Dan bagiku yang sekarang sudah duduk di bangku SMA, aku lebih mengerti apa yang terjadi dibanding saat dulu. Sampai saat ini memang kondisi psikologis ayah belum pulih benar. Tetapi tidak ada yang berubah dari kasih sayang ibu untuk ayah. Meskipun sekarang ayah selayaknya anak bungsu ibu, yang hanya bisa mengangguk, menggeleng, berjalan tertatih, tapi ada satu yang tidak pernah hilang pula dari ayah, senyum tulusnya. Penyakit, cedera, atau apapun lah itu namanya, mungkin berhasil mengambil sebagian fungsi kerja normal ayah. Tapi keceriaan, keyakinan, serta kebanggaan yang kami punya atas ayah kami, tidak pernah berhasil diambil sejak dan sampai kapanpun. Begitu pula untuk ibu yang dengan sabar merawat ayah tanpa pernah mengeluh, bahkan justru selalu menampilkan senyum ketulusan, akan selalu ada kebanggaan terbesar kami bertiga saat memanggilnya ibu.