Sabtu, 30 Agustus 2014

Bahagia itu Harum Manis

“Besok ke Alun-alun ya Din, temenin aku cari t-shirt murah.” “Yah elah, hobi banget sih lu tiap hari Minggu ke pasar tumpah di Alun-alun?” “Ya kan lumayan kalau cuma buat beli kaos rumahan. Menghemat anggaran.” “Iya..iyaa.. Dasar kamu nih Rey, uda macam ibu kosan aja.” “Enak aja kamu ya. Kalau aku ibu kosan, uda aku usir anak kos macam kamu ini. Anak gadis kok joroknya minta ampun.” “Eh, jangan sebut-sebut soal jorok lagi ya. Atau besok ngga aku temani ke alun-alun.” “Iiih beraninya ngancem. Iyaa iyaa mbak Dina yang cantik.” “Nah gitu dong ibu Reya.” Besok paginya aku sudah menemani si ibu kos itu menyusuri alun-alun Bandung ngubek-ngubek seluruh dagangan yang ada di sana. Setiap hari Minggu memang alun-alun ini dipenuhi oleh para penjual dari semua jenis barang. Ada yang jual pakaian, boneka, pernak-pernik, sepatu, dan yang paling aku suka, makanan. Anak kosan macam kami berdua, tempat seperti ini memang menjadi “surga” tersendiri. Selain harganya murah, pilihannya juga banyak. “Lu nyari t-shirt yang gimana sih Rey? Daritadi uda bolak balik ngga ada yang dibeli juga. Mulai panas nih, lapar juga aku.” “Ah kamu mah yang dipikirin cuma makan aja. Nyari t-shirt itu kaya nyari jodoh Din. Ngga bisa sembarang pilih, harus yang nyaman. Hehe..” “Emang jodoh bisa dibeli beberapa kali kaya t-shirt ya Rey?” “Hahaha, yasudah lah ayo kita cari makan dulu. Aku traktir deh.” “Nah ini baru aku setuju. Ayok!” Kami berdua masuk ke warung pecel ayam yang terlihat cukup ramai. Setelah mengambil tempat duduk, seorang pramuniaga menghampiri kami. “Pesan apa, Neng?” “Pecel ayam nya 2 ya A’. Nasinya nasi uduk.” “Minumnya?” “Es teh manis 2. Nuhun A’.” Meskipun cukup ramai, tapi pelayanan disini tidak mengecewakan. Baru 15 menit kami menunggu, dua porsi pecel ayam dan es teh sudah tersedia di depan kami. “Enak juga ya pecel ayamnya ini. Cepat lagi pelayanannya. Besok-besok kalau kita belanja ke alun-alun ini, makannya disini aja ya Rey.” “Maksudmu bilang begitu apa? Kamu berharap aku traktir terus disini? Enak aja.” “Hehehe, ya siapa tahu kamu mau beramal.” “Beramal itu sama anak yatim kali Din.” “Lu lupa, aku kan juga anak yatim Rey. Hehehe..” “Iya tapi bukan kamu juga maksudku.” “Ah lu mah pilih-pilih sama anak yatim.” Yah, beginilah kami berdua. Walaupun baru 2 tahun bersahabat selama kuliah di Bandung, rasanya sudah seperti sahabat lama. Reya asli anak Bogor, sedangkan aku perantauan dari Malang. Selain teman satu jurusan, aku dan dia dekat juga karena satu kosan. Yah, selain fakta kalau dia ngga bisa naik motor dan kebetulan aku teman terdekatnya yang bawa motor. “Kak, beli arum manis nya Kak.” tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara dari belakang. Ternyata ada seorang anak penjaja arum manis menawarkan dagangannya. “Ngga ya Dek, makasi. Kakak ngga suka makanan manis.” “Berapa satunya Dek?” “Tiga ribu aja Kak.” “Kakak beli satu ya. Ini uangnya, kembalianya buat jajan aja.” “Makasi ya Kak.” “Iya sama-sama.” Bocah laki-laki berumur sekitar 7 tahun itu melangkah pergi sambil terus menjajakan dagangannya. “Kamu suka makan arum manis Din?” “Ngga terlalu siih, biasa aja.” “Terus, kenapa kamu beli arum manis yang dijual anak itu? Karena kasihan aja?” “Lu salah Rey. Dia bukan jualan arum manis.” “Maksudmu? Jelas-jelas dia jual arum manis, dan yang kamu beli pun arum manis kan itu.” “Ah, lu ngga tahu siih. Dia itu bukan sekedar jual arum manis. Tapi dia jual kebahagiaan.” “Jual kebahagiaan? Maksudmu apa sih Din?” “Lu nyadar ngga, kalau ada anak kecil yang merengek nangis minta dibelikan arum manis ke orang tuanya, lantas orang tuanya membelikan untuk anaknya itu, apa kira-kira reaksi anaknya?” “Hmmm, diem dari nangisnya. Mungkin kembali ketawaan lagi.” “Nah itu maksudku Rey. Tanpa disadarin, sebenernya yang anak kecil jual itu bukan sekedar arum manis. Tapi kebahagiaan dari seorang anak, sebuah keluarga. Dan, lu juga harus tau Rey, yang dikasih sama orang tua anak itu bukan sekedar uang lembaran ribuan, tapi juga kebahagiaan.” “Hmmmm.. aku ngerti maksudmu Din. Kebahagiaan dari anak penjual arum manis itu kan.” “Yap, betul banget. Karena kita kan ngga pernah tahu, seberapa pentingnya arti uang ribuan itu bagi mereka. Kadang selembar lima ribuan dari hasil satu arum manis, bisa berarti kebahagiaan dari adeknya yang bisa makan siang dengan nasi.” “Tapi berarti itu ngga cuma berlaku untuk arum manis aja dong Din?” “Iya memang. Semua penjual yang menjajakan dagangannya dengan niat dan cara yang baik, sebenarnya dia tidak hanya jualan barang, tapi juga kebagiaan.” “Gila kamu Din. Kadang-kadang pikiranmu bisa bersih juga ya, sekalipun kamu orangnya jorok.” “Heh, enak aja kamu bilang aku jorok di tempat umum begini. Turun pasaran niih nanti.” “Hahaha, becanda aku Din. Udahan yok istirahat makan siangnya. Lanjut berburu kebahagiaan lagi.” “Maksud lu Rey?” “Berburu kebahagiaan ku, t-shirt. Hahaha...” “Wuuuu, bisa aja lu sekarang.” “A’, udah makannya. Jadi berapa?” “Semuanya jadi 35 ribu Neng.” “Ini ya A’. Makasi.. Ayok Din, kita lanjutkan berburu kebahagiaan ku. Hehehe..” “Sssst..ngga usah kenceng-kenceng juga Rey bilangnya.” Dan setelah aku mendapatkan kebahagiaanku (makanan maksudnya), aku kembali menemani Reya berburu kebahagiaannya. Kedatangan anak kecil penjual arum manis tadi benar-benar mengingatkan ku pada sosok ibu di Malang. Beliau yang mengajarkanku tentang semua hal yang aku katakan pada Reya tadi ketika aku sempat merasa malu harus membawa jajanan pasar keliling kampung di sore hari untuk menambah pendapatan keluarga setelah kepergian almarhum ayah. Aku yang waktu itu masih berumur 8 tahun dan memiliki seorang adik perempuan berumur 5 tahun, tidak bisa berdiam diri saja melihat ibu bekerja sendiri untuk kebutuhan keluarga. Tapi sebagai anak kecil, wajar rasanya jika aku sempat merasa malu akan kondisi yang harus aku lewati itu. Untungnya ibuku selalu bisa menyadarkanku bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini, asal niat dan cara kita baik, itu bisa menjadi sumber kebahagiaan orang lain dan juga diri kita sendiri. “Din, aku uda dapet nih t-shirt nya. Ternyata setelah cari kemana-mana, ada disini kebahagiaanku. Hehehe..” “Hmmmm, akhirnya. Baguslah kalau gitu. Bisa pulang dong kita sekarang. Panas niiih.” “Eits, bentar. Aku mau cari satu lagi kebahagiaan.” “Hah, apa lagi Rey?” “Sepatu! Yoook, kita jalan lagi.” “Hadeeeh.. Bakal panjang niih perjalanan mencari kebahagiaan neng Reya.” ****