Display Picture dari
kontak bbm salah seorang teman menarik perhatian gue. Bukan gambar yang
aneh-aneh seperti yang ada dikoleksi kebanyakan cowok jaman sekarang.
Sebenernya simple aja gambar DP itu,
seorang laki-laki yang berdiri menghadap sebatang pohon dengan beberapa ekor
burung beterbangan di atas pohon tersebut. “Aku heran kenapa burung-burung itu
memilih tinggal di satu pohon padahal mereka bisa terbang kemana saja sesuka
hati mereka.” Kata-kata di gambar itu yang begitu mengulik perasaan gue.
“Hmmm, gue setuju dengan DP bbm
ini.” gue cuma bergumam dalam hati sambil tersenyum mengamatinya.
“Hayo, ngapain lu senyum-senyum
sendiri.”
“Eh Wan, ngagetin aja lu. Ngga kok,
ini gue lagi liat DP bbm temen gue aja.”
“Oh... Kirain kesambet lu.”
“Bisa aja lu. Eh, besok sabtu jadi
kita travelling ke Jogja?”
“Ayok aja, gue sih kalau mau
berangkat tinggal berangkat aja. Di sana juga ada si Dimas yang siap jadi
tempat penampungan kita.”
“Cocok! Bener ya, besok sabtu
berangkat kita.”
“Oke bro.”
Gue
emang sekarang lagi hobi-hobinya buat travelling.
Semuanya berawal ketika gue udah selesai sidang skripsi, dan nunggu waktu buat
wisuda yang hampir 2 bulan lamanya. Kebetulan waktu itu gue lagi main ke tempat
sepupu gue si Riswan. Pas gue cerita bingung mau ngapain selama 2 bulan, dia
ngajakin buat travelling aja ala backpacker gitu. Dasarnya gue suka
tantangan dan emang suka jalan-jalan juga, ya tanpa pikir panjang gue tanggepin
serius ajakan si Riswan. Waktu itu Malang jadi tempat pertama yang gue dan
Riswan jelajahi. Cuma bermodalkan tas ransel, uang secukupnya, dan seorang
teman yang rela menjadi penampungan, dengan kereta ekonomi kami berangkat dari
Semarang.
Selama hampir seminggu kami keliling
Malang mencari pengalaman seru dan sekalian cari jodoh (buat Riswan). Yah, tapi
emang nasib Riswan yang ditakdirkan menjomblo sampe batas waktu yang tidak
ditentukan, sampai pulang ke Semarang pun tak ada satu cewek pun yang berhasil
dia gebet. Tapi kalau buat gue, puas rasanya seminggu menjelajah daerah baru
dan menikmati pemandangan yang lain dari yang biasa gue lihat.
Kesempatan travelling ini datang lagi sekarang pas gue lagi nunggu masa-masa
masuk kerja. Dua minggu lagi gue uda kerja di Bogor. Jadi gue pikir mumpung
masih ada waktu 2 minggu, gue mau jalan-jalan dulu ke Jogja. Dan sekali lagi,
Riswan menjadi partner setia gue.
****
Sabtu pagi jam 6 gue uda siap dengan
tas ransel besar di punggung. Setelah pamitan sama orang rumah, gue naik angkot
buat jemput Riswan. Habis itu kita bakal ke Jogja naik kereta ekonomi. Gue
emang lebih suka travelling naik
kereta, karena menurut gue sensasi petualangannya dapet banget. Apalagi di kereta
ekonomi, bakal banyak hal baru dan seru
yang bisa kita dapet. Ngga sampe 10 menit, gue uda nyampe rumah Riswan. Dari
situ kita ke stasiun dianter sama kakak nya Riswan yang sekalian mau pergi ke
arah stasiun. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kita berdua sampai di
Stasiun Poncol Semarang. Tiket udah dibeli, semua perbekalan siap, jam uda
nunjukin pukul 8, saatnya berangkat.
Setiap naik kereta, gue selalu milih
duduk samping jendela jadi bisa ngliat pemandangan yang ada di luar. Gue banyak
ngliat pemandangan baru dari dalam kereta selama di perjalanan. Bahkan ngga
jarang gue juga ngliat ibu-ibu kampung yang lagi pada nyuci baju sambil mandi
di sungai. Entah itu untung atau rugi. Setelah perjalanan hampir 2 jam, rupanya Riswan yang duduk di
sebelah gue tertidur. Tapi jangan bayangin dia nyandarin kepalanya ke bahu gue.
No Way!
“Mau ke Jogja, Mas?” bapak-bapak
yang duduk di depan gue keliatan ramah dengan kumis tipisnya.
“Iya Pak. Ini dengan sepupu saya.”
“Kuliah di sana ya Mas?”
“Oh bukan Pak. Kami Cuma mau
jalan-jalan saja. Kebetulan kami sudah lulus kuliah semua.”
“Wah, enak itu. Kalau mau
jalan-jalan, Jogja memang pilihan yang tepat. Kota nya tenang, banyak
pemandangan bagus, kemana-mana ongkosnya murah. Ada saudara kah disana untuk
menginap?”
“Oh, kebetulan ada teman kami yang
kerja disana. Jadi bisa numpang tinggal sementara.”
“Baguslah kalau gitu. Bapak jadi
ingat masa muda bapak dulu kalau ngliat kalian.”
“Suka jalan-jalan juga kah Pak dulu?”
“Oiya, bapak ini ketua klub pecinta
alam di kampus bapak. Makanya sering jalan-jalan juga.”
“Udah pernah kemana aja Pak dulu?”
“Wah banyak Mas. Saya sudah pernah
ke Malang, Bandung, Bogor, Garut, Bali, Lombok, Jogja, lainnya saya lupa.
“Banyak juga ya Pak. Saya baru
pernah ke Malang saja. Kenapa bapak dulu suka travelling?”
“Namanya juga masih muda
Mas, pasti pengen melihat dunia luar. Menjelajah hal baru, bosan dengan
lingkungan sekitar. Sama kaya yang Mas rasain sekarang kan?”
“Iya betul sekali Pak. Rugi rasanya
kalau masih muda ngga sempat keliling-keliling mencoba banyak hal baru.”
“Hahaha, saya suka semangat Mas.
Tapi ada hal lain yang harus diingat. Jangan sampai motivasi kita bepergian
hanya untuk mencoba semua hal baru tanpa membawa hasil apa-apa.”
“Maksudnya apa itu Pak?”
“Kadang kita hanya terjebak oleh
keinginan menggebu-gebu akan hal baru. Menantang diri dengan sesuatu yang belum
pernah dialami. Tidak salah memang itu. Tapi pertanyaannya, lalu untuk apa
semua itu? Apa hanya sekedar bersenang-senang, menambah pengalaman? Justru rugi
kalau hanya seperti itu. Semua orang sebenarnya bisa saja bepergian ke berbagai
tempat asal mereka mau. Tapi tidak semua orang bisa menjadi traveller.”
“Traveller?
Apa yang bapak maksud dengan traveller?”
“Seorang traveller itu bukan hanya mereka yang
sering bepergian ke berbagai tempat saja. Tapi mereka yang setiap kali melihat
atau menjelajahi tempat baru, selalu bisa menikmati, menghargai, dan mengambil
pelajaran dari sana untuk bekal hidup mereka ke depannya. Singkatnya, seorang traveller harus bisa membuat hidupnya
selalu berjalan maju meskipun dia sudah tidak mengalami hal-hal baru lagi.”
“Hahaha, berat juga ya menjadi traveller kalau begitu Pak.”
“Ah, ngga juga Mas. Contoh traveller
sejati adalah burung. Pada dasarnya seekor burung bisa saja terbang terus
ke berbagai daerah, menikmati pemandangan yang berbeda setiap waktu. Tapi bukan
itu yang mereka lakukan. Setelah mereka merasa cukup melihat berbagai
pemandangan baru, mereka akan memilih satu pohon untuk membangun sarang dan
menanamkan apa yang sudah mereka dapat untuk diri sendiri dan anak-anak mereka.
Apa setelah mereka menetap di sarang nya itu, mereka bukan lagi traveller?”
“Saya mengerti sekarang maksud
Bapak. Seperti perjalanan kereta ini, kita harus tahu di stasiun mana kita
turun. Tapi itu bukan berarti perjalanan kita berhenti kan Pak?”
“Tepat sekali! Bapak harap Mas dan
saudara mas yang tidur pulas itu, bisa menjadi traveller dan tahu di stasiun mana harus turun. Kalau tidak, nanti
bisa kesasar. Hahaha...”
“Hahaha... bapak bisa saja
becandanya.”
Kereta
ekonomi ini terus melaju, mengantarkan orang-orang menuju stasiun pemberhentian
masing-masing, menyuguhkan berbagai pemandangan baru di setiap daerah yang
dilewatinya, yang bisa saja memberimu pengalaman baru, atau justru membuatmu
lupa akan tujuanmu.
****