Rabu, 07 Agustus 2019

SARANG

Display Picture dari kontak bbm salah seorang teman menarik perhatian gue. Bukan gambar yang aneh-aneh seperti yang ada dikoleksi kebanyakan cowok jaman sekarang. Sebenernya simple aja gambar DP itu, seorang laki-laki yang berdiri menghadap sebatang pohon dengan beberapa ekor burung beterbangan di atas pohon tersebut. “Aku heran kenapa burung-burung itu memilih tinggal di satu pohon padahal mereka bisa terbang kemana saja sesuka hati mereka.” Kata-kata di gambar itu yang begitu mengulik perasaan gue.
            “Hmmm, gue setuju dengan DP bbm ini.” gue cuma bergumam dalam hati sambil tersenyum mengamatinya.
            “Hayo, ngapain lu senyum-senyum sendiri.”
            “Eh Wan, ngagetin aja lu. Ngga kok, ini gue lagi liat DP bbm temen gue aja.”
            “Oh... Kirain kesambet lu.”
            “Bisa aja lu. Eh, besok sabtu jadi kita travelling ke Jogja?”
            “Ayok aja, gue sih kalau mau berangkat tinggal berangkat aja. Di sana juga ada si Dimas yang siap jadi tempat penampungan kita.”
            “Cocok! Bener ya, besok sabtu berangkat kita.”
            “Oke bro.”
Gue emang sekarang lagi hobi-hobinya buat travelling. Semuanya berawal ketika gue udah selesai sidang skripsi, dan nunggu waktu buat wisuda yang hampir 2 bulan lamanya. Kebetulan waktu itu gue lagi main ke tempat sepupu gue si Riswan. Pas gue cerita bingung mau ngapain selama 2 bulan, dia ngajakin buat travelling aja ala backpacker gitu. Dasarnya gue suka tantangan dan emang suka jalan-jalan juga, ya tanpa pikir panjang gue tanggepin serius ajakan si Riswan. Waktu itu Malang jadi tempat pertama yang gue dan Riswan jelajahi. Cuma bermodalkan tas ransel, uang secukupnya, dan seorang teman yang rela menjadi penampungan, dengan kereta ekonomi kami berangkat dari Semarang.
            Selama hampir seminggu kami keliling Malang mencari pengalaman seru dan sekalian cari jodoh (buat Riswan). Yah, tapi emang nasib Riswan yang ditakdirkan menjomblo sampe batas waktu yang tidak ditentukan, sampai pulang ke Semarang pun tak ada satu cewek pun yang berhasil dia gebet. Tapi kalau buat gue, puas rasanya seminggu menjelajah daerah baru dan menikmati pemandangan yang lain dari yang biasa gue lihat.
            Kesempatan travelling ini datang lagi sekarang pas gue lagi nunggu masa-masa masuk kerja. Dua minggu lagi gue uda kerja di Bogor. Jadi gue pikir mumpung masih ada waktu 2 minggu, gue mau jalan-jalan dulu ke Jogja. Dan sekali lagi, Riswan menjadi partner setia gue.
****

            Sabtu pagi jam 6 gue uda siap dengan tas ransel besar di punggung. Setelah pamitan sama orang rumah, gue naik angkot buat jemput Riswan. Habis itu kita bakal ke Jogja naik kereta ekonomi. Gue emang lebih suka travelling naik kereta, karena menurut gue sensasi petualangannya dapet banget. Apalagi di kereta ekonomi, bakal banyak  hal baru dan seru yang bisa kita dapet. Ngga sampe 10 menit, gue uda nyampe rumah Riswan. Dari situ kita ke stasiun dianter sama kakak nya Riswan yang sekalian mau pergi ke arah stasiun. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kita berdua sampai di Stasiun Poncol Semarang. Tiket udah dibeli, semua perbekalan siap, jam uda nunjukin pukul 8, saatnya berangkat.
            Setiap naik kereta, gue selalu milih duduk samping jendela jadi bisa ngliat pemandangan yang ada di luar. Gue banyak ngliat pemandangan baru dari dalam kereta selama di perjalanan. Bahkan ngga jarang gue juga ngliat ibu-ibu kampung yang lagi pada nyuci baju sambil mandi di sungai. Entah itu untung atau rugi. Setelah perjalanan  hampir 2 jam, rupanya Riswan yang duduk di sebelah gue tertidur. Tapi jangan bayangin dia nyandarin kepalanya ke bahu gue. No Way!
            “Mau ke Jogja, Mas?” bapak-bapak yang duduk di depan gue keliatan ramah dengan kumis tipisnya.
            “Iya Pak. Ini dengan sepupu saya.”
            “Kuliah di sana ya Mas?”
            “Oh bukan Pak. Kami Cuma mau jalan-jalan saja. Kebetulan kami sudah lulus kuliah semua.”
            “Wah, enak itu. Kalau mau jalan-jalan, Jogja memang pilihan yang tepat. Kota nya tenang, banyak pemandangan bagus, kemana-mana ongkosnya murah. Ada saudara kah disana untuk menginap?”
            “Oh, kebetulan ada teman kami yang kerja disana. Jadi bisa numpang tinggal sementara.”
            “Baguslah kalau gitu. Bapak jadi ingat masa muda bapak dulu kalau ngliat kalian.”
            “Suka jalan-jalan juga kah Pak dulu?”
            “Oiya, bapak ini ketua klub pecinta alam di kampus bapak. Makanya sering jalan-jalan juga.”
            “Udah pernah kemana aja Pak dulu?”
            “Wah banyak Mas. Saya sudah pernah ke Malang, Bandung, Bogor, Garut, Bali, Lombok, Jogja, lainnya saya lupa.
            “Banyak juga ya Pak. Saya baru pernah ke Malang saja. Kenapa bapak dulu suka travelling?”
            “Namanya juga masih muda Mas, pasti pengen melihat dunia luar. Menjelajah hal baru, bosan dengan lingkungan sekitar. Sama kaya yang Mas rasain sekarang kan?”
            “Iya betul sekali Pak. Rugi rasanya kalau masih muda ngga sempat keliling-keliling mencoba banyak hal baru.”
            “Hahaha, saya suka semangat Mas. Tapi ada hal lain yang harus diingat. Jangan sampai motivasi kita bepergian hanya untuk mencoba semua hal baru tanpa membawa hasil apa-apa.”
            “Maksudnya apa itu Pak?”
            “Kadang kita hanya terjebak oleh keinginan menggebu-gebu akan hal baru. Menantang diri dengan sesuatu yang belum pernah dialami. Tidak salah memang itu. Tapi pertanyaannya, lalu untuk apa semua itu? Apa hanya sekedar bersenang-senang, menambah pengalaman? Justru rugi kalau hanya seperti itu. Semua orang sebenarnya bisa saja bepergian ke berbagai tempat asal mereka mau. Tapi tidak semua orang bisa menjadi traveller.
            Traveller? Apa yang bapak maksud dengan traveller?”
            “Seorang traveller itu bukan hanya mereka yang sering bepergian ke berbagai tempat saja. Tapi mereka yang setiap kali melihat atau menjelajahi tempat baru, selalu bisa menikmati, menghargai, dan mengambil pelajaran dari sana untuk bekal hidup mereka ke depannya. Singkatnya, seorang traveller harus bisa membuat hidupnya selalu berjalan maju meskipun dia sudah tidak mengalami hal-hal baru lagi.”
            “Hahaha, berat juga ya menjadi traveller kalau begitu Pak.”
            “Ah, ngga juga Mas. Contoh  traveller sejati adalah burung. Pada dasarnya seekor burung bisa saja terbang terus ke berbagai daerah, menikmati pemandangan yang berbeda setiap waktu. Tapi bukan itu yang mereka lakukan. Setelah mereka merasa cukup melihat berbagai pemandangan baru, mereka akan memilih satu pohon untuk membangun sarang dan menanamkan apa yang sudah mereka dapat untuk diri sendiri dan anak-anak mereka. Apa setelah mereka menetap di sarang nya itu, mereka bukan lagi traveller?”
            “Saya mengerti sekarang maksud Bapak. Seperti perjalanan kereta ini, kita harus tahu di stasiun mana kita turun. Tapi itu bukan berarti perjalanan kita berhenti kan Pak?”
            “Tepat sekali! Bapak harap Mas dan saudara mas yang tidur pulas itu, bisa menjadi traveller dan tahu di stasiun mana harus turun. Kalau tidak, nanti bisa kesasar. Hahaha...”
            “Hahaha... bapak bisa saja becandanya.”

Kereta ekonomi ini terus melaju, mengantarkan orang-orang menuju stasiun pemberhentian masing-masing, menyuguhkan berbagai pemandangan baru di setiap daerah yang dilewatinya, yang bisa saja memberimu pengalaman baru, atau justru membuatmu lupa akan tujuanmu.
****

Minggu, 26 April 2015

Ayah yang Menjadi Anak Bungsu

Drs. Tri Raharjo MPd. tidak ada yang spesial dari nama tersebut, memang. Tapi itu berlaku untuk 99,9 persen penduduk dunia ini. Sedangkan bagi 0,1 persen bagian lainnya, nama itu sangatlah berarti. Ya, aku tegaskan kembali, sangat berarti karena nama itu merupakan tulang punggung keluarga kami. Tentu saja aku yakin setiap nama memiliki arti penting setidaknya bagi sebagian kecil penduduk dunia yang mulai menua ini. Tapi mungkin itu tidak berlaku bagi public figure atau tokoh panutan yang namanya bisa jadi penting bagi 30% atau bahkan 50% penduduk dunia. Sebut saja sebagai contoh nama Muhammad SAW yang namanya begitu penting bagi masyarakat muslim di seluruh dunia, atau Paus Paulus panutan terbesar umat Katholik. Pun tidak terkecuali penyanyi besar sekelas Michael Jackson yang meski telah tiada, namanya masih mempunyai arti penting bagi penggemarnya yang pasti tidak sedikit tersebar seantero jagad.

 Berbeda dengan nama-nama yang aku sebutkan sebelumnya, ayahku bukanlah orang suci ataupun artis besar. Beliau hanya seorang ayah dari 3 orang anak dan suami dari seorang istri yang telah lebih 30 tahun menemaninya. Bagi kami, tentu saja beliau adalah sosok panutan yang kami hormati, artis dalam rumah yang sering kali saat makan malam sukses besar membuat tawa kami meluncur lepas ditengah jenuhnya rutinitas harian yang baru saja dilalui. Yah, memang sih terkadang leluconnya terdengar tidak lucu, tapi kami tetap berhasil dibuatnya terbahak melihat ekspresinya ketika menyadari guyonannya terasa garing. Salah satu momen yang paling aku ingat adalah saat kami menghabiskan malam minggu di bulan Mei dua tahun lalu, berkumpul di ruang keluarga sambil menyantap kue buatan ibu. 
 “Kalian tahu tidak kenapa jerapah lehernya panjang?”
 “Esya tahu! Karena dedaunan yang menjadi makanan kesukaan jerapah letaknya tinggi di ranting pohon jadi lama-lama lehernya juga memanjang supaya bisa mencapai dedaunan itu. Begitu kata bu Susi guru biologi Esya.” Aku menjawab antusias pertanyaan ayah. 
“Hmmm, bukan itu jawaban yang Ayah maksud. Hayo, ada lagi yang tahu jawabannya?”
 “Udah ayah langsung kasih tahu aja jawabannya apa.”
 Rene kakak pertamaku tidak sabar mendengar jawaban ayah
 “Ah, payah kalian ngga ada yang bisa jawab. Yang benar jawabannya adalah karena kalau hidungnya yang panjang namanya Pinokio. Hahahaha...”
 Ayah terlihat tertawa puas sekali karena tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Sedangkan kami berempat untuk beberapa detik terdiam saling bertatapan kemudian baru meledaklah tawa kami. Bukan karena lucunya jawaban ayah, tapi justru karena geli melihat tingkah ayah yang tidak menyadari bahwa leluconnya sama sekali tidak lucu. (Maafkan kami, Yah... hehehe) 

Dibalik profesinya sebagai seorang guru selama 35 tahun, dari dulu ayah memang terkenal sebagai pribadi yang santai, humoris, tetapi tetap tegas dan bijaksana. Karena itulah beliau menjadi sosok panutan dan idola di keluarga, mungkin juga di tempatnya bekerja dulu. Aku sangat bangga bisa memanggilnya Ayah. Keyakinanku pun besar bahwa Mbak Rene dan Mas Ditya pun juga pasti merasakan hal yang sama. Apalagi bagi ibu, tak pernah terlihat ada keraguan sedikitpun tentang betapa besar rasa hormat dan cinta pada suaminya yang meskipun sekarang lebih terlihat seperti anak keempatnya.

Bulan September dua tahun silam, di minggu sore yang terasa tidak seperti biasanya, kami sekeluarga terpaksa pergi ke rumah sakit daerah di pusat kota Surabaya. Tanpa sempat memikirkan hal lainnya, Mas Ditya langsung menyambar kunci mobil yang tergantung di dinding ruang keluarga, Mbak Rene terlihat sangat kesusahan membantu ibu memapah tubuh ayah.

     “Dityaaaa... Bantuin!” teriakan Mbak Rene terdengar penuh kecemasan.

Maka setelah berhasil menyalakan mobil, Mas Ditya langsung berlari menghampiri ibu dan Mbak Rene yang berada di kamar ayah. Sementara aku, berdiri terpaku dengan pipi basah di sudut ruangan itu menyaksikan mereka bertiga berjuang mengangkat tubuh ayah untuk dibawa ke dalam mobil. Saat itu aku masih kelas 2 SMP dan sangat bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saking bingungnya aku hanya bisa berdiri tak bergerak tapi terus meneteskan air mata. Yang memenuhi kepalaku hanya kesedihan, kecemasan, dan ketakutan. Melihat tubuh seseorang yang dicintai kejang-kejang dan kemudian jatuh tak berdaya membuat semua akal sehat bersembunyi.
 
   “Esya, ayo cepat masuk mobil!” perintah ibu dari dalam mobil tak mendapat respon dariku yang masih mematung di sudut kamar.
  “Esyaaa! Esyaaa! Ayooo cepat!” ibu terus meneriaki ku sampai akhirnya otakku bisa bekerja kembali.
    “Iii iiyaa Bu. Esya kunci dulu semua pintu rumah.”
Segera aku berlari ke arah pintu depan dan belakang untuk mengunci kedua nya. Tidak sampai 5 menit aku sudah berada di samping ibu di dalam mobil. Mbak Rene duduk di depan dengan Mas Ditya yang segera memacu mobil menuju ke rumah sakit daerah Surabaya.

    “Ayah..ayah...” ibu terus mencoba membangunkan suami yang berada di sampingnya.
 
Namun sama sekali tidak ada respon atas panggilannya. Tak ayal air mata turun dari mata sipit ibu yang biasanya selalu cerah penuh kebahagiaan. Seumur hidup aku tidak pernah melihat ibu seperti ini, wanita kuat dengan sifat lemah lembut yang setiap hari wajahnya dihiasi senyuman, sekarang terlihat sangat rapuh, layu bagai melati diterpa angin kemarau. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain ikut menangis dan memeluk ibu dengan erat. Aku tahu mungkin isak tangisku ini hanya menambah kesedihan ibu. Tapi apa yang bisa diharapkan dariku, anak umur 13 tahun yang tidak pernah melihat masalah besar memasuki kehidupan keluarganya.

Perjalanan dari rumah menuju rumah sakit terasa begitu panjang, bahkan lebih terasa seperti perjalanan antara hidup dan mati. Begitu sampai di depan pintu unit gawat darurat (UGD), mbak Rene langsung turun dan memanggil perawat untuk membantu kami membawa ayah. 2 orang perawat pun langsung menghampiri mobil kami sambil membawa ranjang dorong. Dengan sigap mereka membawa ayah menuju ruang gawat darurat, dan kami bertiga pun berlarian mengikuti dari belakang. Di depan pintu ruang gawat darurat langkah kaki kami berhenti. Perawat tidak mengijinkan siapapun ikut masuk ke dalam.
   
     “Mohon maaf, sementara dokter memeriksa, ibu dan putrinya tunggu dulu di luar.”
Ucapan perawat bertubuh tinggi itu menambah kekhawatiran kami. Bagaimana kira-kira keadaan ayah? Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh ayah? Sampai kapan ayah tidak sadarkan diri? Apakah setelah ini ayah akan baik-baik saja? Begitu banyak pertanyaan muncul di benakku seperti ingin meledak.
    “Ibu, bagaimana keadaan ayah?” kak Ditya yang baru saja memarkirkan mobil datang menghampiri ibu dengan rasa cemas yang tidak berkurang sejak awal kejadian ini.
      “Masih diperiksa dokter di dalam Dit. Kita ngga ada yang diperbolehkan masuk. Ibu jadi khawatir sekali sama ayahmu.”
         “Kita berdoa saja Bu untuk ayah. Semoga ayah baik-baik saja. Hanya itu yang sekarang bisa kita lakukan untuk ayah.”
         “Mbak Rene benar Bu. Ditya yakin semua akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Ayah akan menjadi ayah kita seperti biasanya.”
          “Ibu jangan menangis lagi yaa. Esya jadi ikutan sedih.”
Tidak seperti kedua kakakku yang bisa memberi ketenangan, aku hanya bisa berkata apa yang aku rasakan.
          “Iya Esya, ibu tidak akan menangis lagi. Kamu jangan sedih yaa. Maaf sudah membuatmu ikut menangis. Sini sayang.” Ibu memelukku dengan lembut dan sedikit kekuatan mulai kurasakan mengalir dari dekapan tangannya yang terasa dingin.

Begitulah ibu, beliau memang seorang wanita yang kuat dan penuh kasih sayang. Sebagai seorang wanita, aku ingin tumbuh dewasa seperti sosok ibuku ini. Mungkin begitu pula keinginan seluruh anak gadis di dunia ini, menjadi seperti ibu mereka. Sudah 30 menit dokter dan perawat-perawat ini bersama ayah. Rasanya waktu yang berjalan begitu lambat menyiksa kami berempat. Tiba-tiba pintu ruang UGD terbuka. Seorang laki-laki dengan baju serba hijau, keluar sambil membuka masker penutup mulutnya.
          “Dokter, bagaimana keadaan ayah kami? Semua baik-baik saja kan Dok?” Mas Ditya langsung memburu dokter berkacamata itu dengan rentetan pertanyaan.
         “Bagaimana suami saya Dok? Kami bisa melihatnya sekarang?”
     “Bapak sudah melewati masa kritisnya tapi belum sadar. Kalian bisa melihatnya asal tetap menjaga ketenangan di dalam. Sebelumnya, bisa saya bicara dengan Ibu? Ada beberapa hal yang mau saya jelaskan.”
      “Oh begitu, baik Dok. Rene, Ditya, ajak Esya menemui ayah kalian. Ibu harus bicara dulu dengan dokter, nanti ibu menyusul.”
Maka aku dan kedua kakakku masuk ke ruang berkelambu hijau dimana ayah sedang tertidur pulas sekali dengan infus ditangan kiri nya. Melihat ayah seperti itu tidak pernah terbayangkan dalam benakku sebelumnya. Yang ada di bayanganku hanya wajah ayah yang selalu tersenyum, tertawa, terkadang sedikit marah saat diantara kami ada yang berbuat nakal. Ayah yang sekarang aku lihat benar-benar berbeda. Tubuhnya pucat, lemah, meski masih ada senyuman diwajahnya yang tak sadarkan diri selama beberapa jam.

      “Silakan duduk Bu. Ada yang mau saya bicarakan dengan Ibu.”
     “Soal kondisi suami saya Dok? Semua baik-baik saja kan Dok?”
    “Sampai saat ini kondisi suami ibu baik-baik saja. Tidak ada penyakit jantung, diabetes, stroke, atau penyakit dalam lainnya. Tapi ada yang saya khawatirkan.”
     “Apa itu Dok? Bukankah kata dokter semua baik-baik saja?”
    “Memang, tapi melihat kondisi bapak yang sempat kejang dan mendadak jatuh pingsan, saya khawatir ada yang salah dengan saraf kepala suami Ibu. Tapi ini masih dugaan sementara saya. Semua akan lebih jelas saat bapak sudah siuman. Semoga saja memang tidak ada yang salah dengan kondisi bapak.”
    “Dugaan apa itu Dok? Apa yang sebenarnya dokter khawatirkan?”
   “Saya belum berani menjelaskan lebih lanjut Bu. Kita lihat kondisi bapak saja nanti. Sekarang kalau ibu mau lihat kondisi bapak, saya persilakan.”
   “Baiklah kalau begitu Dok. Saya permisi dulu.”
Tak berapa lama, ibu menyusul kami bertiga menemani ayah di ruangan yang bau nya khas itu. Aku paling tidak suka bau seperti ini, bau obat dan rumah sakit. Ketika melihat ibu melangkahkan kaki masuk, aku melihat sedikit kecemasan di mata nya yang mulai sayu. Meski begitu, saat melihat wajah ayah dan kami bertiga berkumpul, ibu menunjukkan segaris senyuman lembut di wajahnya.
     “Ayah kalian tetap ganteng ya.”
   “Hmmm, iya bu. Rene juga berfikiran yang sama seperti ibu. Ayah tetap seperti ayah kita yang ganteng.”
    “Dokter bicara apa saja tadi Bu? Ditya lihat sepertinya ada yang penting ingin disampaikan dokter.”
     “Oh, bukan apa-apa kok Dit. Kalian tidak perlu cemas. Dokter hanya menyampaikan kondisi ayah kalian saat ini. Kata dokter semua baik-baik saja, kita hanya harus berdoa semoga ayah segera sadar.”
     “Syukurlah kalau begitu. Ditya hanya khawatir kalau ada apa-apa.”
    “Kita bersabar saja ya, tunggu ayah sadar. Eh, kalian pasti lapar kan belum makan dari tadi. Gimana kalau kalian bertiga beli makan dulu saja keluar, biar ibu yang jaga ayah. Biar muka kalian juga keliatan lebih fresh. Kasian tuh liat Esya kayak orang puasa 3 hari gitu.”
    “Ibu sendiri mau dibawakan makanan apa? Nanti biar sekalian kami bawakan baju ganti.”
   “Terserah kalian saja, ibu ngikut. Esya nanti kalau sudah makan tunggu di rumah saja ya sama mbak Rene. Besok baru kesini lagi pulang sekolah.”
   “Tapi Esya masih mau nemenin ibu jagain ayah.”
    “Udah ngga papa kan ada mas Ditya. Kamu tugasnya jaga rumah aja sama mbak Rene. Biar mas nanti yang disini sama ibu.”
    “Yasudah kalau begitu Bu, nanti biar Rene yang jagain Esya sama rumah. Besok pulang kuliah baru Rene ajak Esya lagi kesini. Kami pamit dulu ya bu.”
    “Iya, kalian hati-hati di jalan ya.”
                                                                            ****
Pulang sekolah aku dijemput mbak Rene naik motor, mampir sebentar ke rumah untuk ganti baju kemudian kami langsung meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan kabar ayah. Apa ayah sudah sadar, bagaimana kondisinya sekarang, apa ayah akan segera pulang. Semua pertanyaan itu berjejal di pikiranku, rasanya sungguh sesak. Bahkan semenjak semalam aku tidak bisa berhenti merasa cemas, rumah yang biasanya ramai tapi menenangkan, tiba-tiba berubah menjadi sepi sekaligus mendebarkan. Aku dan mbak Rene bergegas menuju kamar B317 tempat ayah di rawat sekarang. Tak sabar rasanya aku mendengar kabar tentang ayah. Aku harap begitu pintu kamar rawat terbuka, wajah tersenyum ayah sudah siap menyambut kami. Dan begitulah, ketika aku tanpa sabar membuka pintu berwarna biru itu, aku sudah melihat ayah duduk bersandar pada bagian belakang ranjang, disebelah ada ibu dan mas Ditya, serta dokter yang memeriksa gerakan mata ayah.

         Akhirnya ayah kembali!!

Teriakku dalam hati meski yang tergambar keluar hanya senyuman lebar. Aku dan mbak Rene berpegangan tangan bersama-sama mendekati ibu dan mas Ditya. Sepertinya aku juga merasakan senyum mbak Rene mengalir melalui genggaman tangannya.
       “Ayah sadar dari kapan Bu?”
      “Baru saja Sya. Makanya ini masih di periksa sama dokter.”
      “Esya senang akhirnya ayah bisa sadar kembali. Jadi rumah kita bakal ramai lagi.”
     “Iya Sya, ibu juga berharap gitu.” Rasanya ada yang aneh dari cara ibu menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi. Masih terasa ketakutan, kecemasan, dan harapan. Padahal ayah sudah sadar, kenapa ibu masih merasa cemas begitu? Pertanyaan ku itu semakin menjadi setelah aku mendengar dokter mengajak ibu berbicara secara terpisah dari kami.

       “Rupanya apa yang saya khawatirkan benar adanya Bu.”
    “Maksud dokter apa? Kenapa dengan suami saya? Bukannya suami saya sudah membaik?”
    “Secara fisik memang suami ibu baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi ada yang tidak benar dengan saraf di kepala suami ibu. Saya menduga ada beberapa saraf yang cedera atau rusak.”
   “Tapi suami saya tidak pernah mengalami benturan, kecelakaan atau hal lain yang kira-kira mencederai kepalanya Dok. Bagaimana bisa dokter bilang sekarang sarafnya ada yang rusak.”
     “Pada beberapa kasus yang tidak biasa memang bisa saja rusak nya saraf tidak diakibatkan oleh cedera fisik. Hal ini bisa saja terjadi memang karena kerusakan dari dalam. Bahkan dokter-dokter dari luar negeri pun masih meneliti kasus seperti suami ibu.”
    “Lalu apa akibatnya dari kerusakan saraf suami saya ini Dok? Saya lihat tadi sepertinya semua kondisinya normal saja.”
     “Memang Bu, semua kondisi fisik bapak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali. Tapi yang perlu ibu ketahui, kerusakan saraf ini sepertinya berpengaruh besar pada kondisi psikologis dan perilaku bapak.”
    “Maksud dokter?”
    “Maksud saya, kemungkinan bapak akan mengalami perubahan pola psikologis. Bapak juga akan mengalami gangguan fungsi sensor yang mempengaruhi gerakannya.”
   “Sampai berapa lama itu Dok?”
   “Untuk itu saya belum bisa memastikan Bu. Selama proses itu, saya menganjurkan bapak untuk terus menjalani pemeriksaan dan terapi. Untuk saat ini, bapak hanya perlu istirahat 1-2 hari saja di rumah sakit guna pemulihan kondisi fisiknya.”
    “Baiklah kalau begitu saya mengerti Dok.”
   “Saya harap ibu dan anak-anak bisa bersabar menghadapi kondisi bapak ke depan. Saya tinggal dulu ya Bu. Permisi...”
    “Iya silakan Dok, terima kasih.”

Sementara dari tadi ibu tampak sedang berbicara serius dengan dokter, aku mencoba mengajak ngobrol ayah yang aku lihat tatapannya maih kosong.
       “Ayah, gimana kondisi ayah sekarang? Esya kangen sama ayah.”
      “Iya betul Yah, Rene sama Ditya juga kangen. Sepi rumah ngga ada ayah.”
Dari pertanyaan kami tersebut, ayah tidak memberikan jawaban apapun. Tapi hanya tersenyum polos, sambil menatap kami bertiga. Tentu saja hal ini membuat kami terdiam seketika. Apa ayah sedang bercanda? Atau mungkin ayah sedang mengerjai kami seperti kebiasaannya dulu.
      “Ayah... ayah sedang bercanda ya?”
     “Sudah Sya, biar ayah istirahat dulu. Ayo ibu temani kalian makan siang di kantin rumah sakit.” Tanpa aku sadar ternyata ibu sudah berada di samping kami lagi dan segera mengajak kami pergi makan membiarkan ayah beristirahat di ranjangnya. Tentu saja bukan hanya untuk makan maksud ibu mengajak kami ke kantin rumah sakit ini. aku tahu pasti ada yang ingin ibu katakan pada kami soal kondisi ayah.
      “Ayah sebenarnya kenapa Bu? Dari tadi Esya ajak bicara ayah, tapi ayah tidak menjawab apa-apa.”
         “Esya, Rene, Ditya, ayah kalian baik-baik saja. Hanya untuk beberapa waktu ke depan mungkin akan ada yang berbeda dengan sikap ayah. Karena ada sedikit masalah dengan saraf kepala ayah. Jadi ibu minta, kalian bersabar saja ya menghadapi ini. Ibu yakin sekali ini hanya untuk sementara.”
     “Maksud ibu apa? Esya ngga ngerti.”
     “Sudah Esya, sekarang kita makan dulu aja yaa. Nanti pelan-pelan kamu juga akan ngerti. Mbak temani pesan makanan yuk.”
Begitulah mbak Rene, sebagai anak yang tertua dia selalu bisa menenangkan dan membantu ibu mengontrol suasana. Aku pun hanya bisa menurut dan mengikuti mbak Rene ke arah meja pemesanan. Sementara sambil terus berjalan, aku melihat mas Ditya sedang memegang pundak ibu. Aku tahu, mereka saling menguatkan.

Seperti itulah memang seharusnya sebuah keluarga. Saling melengkapi saat ada ada kurang menghinggapi, menguatkan saat hari mulai terasa melelahkan, dan menyatu meski terkadang dihadang berbagai ragu. Sudah dua tahun lebih semenjak hari di kantin rumah sakit, kami masih memegang kuat keyakinan itu. Bahwa semua akan terus baik-baik saja. Dan bagiku yang sekarang sudah duduk di bangku SMA, aku lebih mengerti apa yang terjadi dibanding saat dulu. Sampai saat ini memang kondisi psikologis ayah belum pulih benar. Tetapi tidak ada yang berubah dari kasih sayang ibu untuk ayah. Meskipun sekarang ayah selayaknya anak bungsu ibu, yang hanya bisa mengangguk, menggeleng, berjalan tertatih, tapi ada satu yang tidak pernah hilang pula dari ayah, senyum tulusnya. Penyakit, cedera, atau apapun lah itu namanya, mungkin berhasil mengambil sebagian fungsi kerja normal ayah. Tapi keceriaan, keyakinan, serta kebanggaan yang kami punya atas ayah kami, tidak pernah berhasil diambil sejak dan sampai kapanpun. Begitu pula untuk ibu yang dengan sabar merawat ayah tanpa pernah mengeluh, bahkan justru selalu menampilkan senyum ketulusan, akan selalu ada kebanggaan terbesar kami bertiga saat memanggilnya ibu.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Bahagia itu Harum Manis

“Besok ke Alun-alun ya Din, temenin aku cari t-shirt murah.” “Yah elah, hobi banget sih lu tiap hari Minggu ke pasar tumpah di Alun-alun?” “Ya kan lumayan kalau cuma buat beli kaos rumahan. Menghemat anggaran.” “Iya..iyaa.. Dasar kamu nih Rey, uda macam ibu kosan aja.” “Enak aja kamu ya. Kalau aku ibu kosan, uda aku usir anak kos macam kamu ini. Anak gadis kok joroknya minta ampun.” “Eh, jangan sebut-sebut soal jorok lagi ya. Atau besok ngga aku temani ke alun-alun.” “Iiih beraninya ngancem. Iyaa iyaa mbak Dina yang cantik.” “Nah gitu dong ibu Reya.” Besok paginya aku sudah menemani si ibu kos itu menyusuri alun-alun Bandung ngubek-ngubek seluruh dagangan yang ada di sana. Setiap hari Minggu memang alun-alun ini dipenuhi oleh para penjual dari semua jenis barang. Ada yang jual pakaian, boneka, pernak-pernik, sepatu, dan yang paling aku suka, makanan. Anak kosan macam kami berdua, tempat seperti ini memang menjadi “surga” tersendiri. Selain harganya murah, pilihannya juga banyak. “Lu nyari t-shirt yang gimana sih Rey? Daritadi uda bolak balik ngga ada yang dibeli juga. Mulai panas nih, lapar juga aku.” “Ah kamu mah yang dipikirin cuma makan aja. Nyari t-shirt itu kaya nyari jodoh Din. Ngga bisa sembarang pilih, harus yang nyaman. Hehe..” “Emang jodoh bisa dibeli beberapa kali kaya t-shirt ya Rey?” “Hahaha, yasudah lah ayo kita cari makan dulu. Aku traktir deh.” “Nah ini baru aku setuju. Ayok!” Kami berdua masuk ke warung pecel ayam yang terlihat cukup ramai. Setelah mengambil tempat duduk, seorang pramuniaga menghampiri kami. “Pesan apa, Neng?” “Pecel ayam nya 2 ya A’. Nasinya nasi uduk.” “Minumnya?” “Es teh manis 2. Nuhun A’.” Meskipun cukup ramai, tapi pelayanan disini tidak mengecewakan. Baru 15 menit kami menunggu, dua porsi pecel ayam dan es teh sudah tersedia di depan kami. “Enak juga ya pecel ayamnya ini. Cepat lagi pelayanannya. Besok-besok kalau kita belanja ke alun-alun ini, makannya disini aja ya Rey.” “Maksudmu bilang begitu apa? Kamu berharap aku traktir terus disini? Enak aja.” “Hehehe, ya siapa tahu kamu mau beramal.” “Beramal itu sama anak yatim kali Din.” “Lu lupa, aku kan juga anak yatim Rey. Hehehe..” “Iya tapi bukan kamu juga maksudku.” “Ah lu mah pilih-pilih sama anak yatim.” Yah, beginilah kami berdua. Walaupun baru 2 tahun bersahabat selama kuliah di Bandung, rasanya sudah seperti sahabat lama. Reya asli anak Bogor, sedangkan aku perantauan dari Malang. Selain teman satu jurusan, aku dan dia dekat juga karena satu kosan. Yah, selain fakta kalau dia ngga bisa naik motor dan kebetulan aku teman terdekatnya yang bawa motor. “Kak, beli arum manis nya Kak.” tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara dari belakang. Ternyata ada seorang anak penjaja arum manis menawarkan dagangannya. “Ngga ya Dek, makasi. Kakak ngga suka makanan manis.” “Berapa satunya Dek?” “Tiga ribu aja Kak.” “Kakak beli satu ya. Ini uangnya, kembalianya buat jajan aja.” “Makasi ya Kak.” “Iya sama-sama.” Bocah laki-laki berumur sekitar 7 tahun itu melangkah pergi sambil terus menjajakan dagangannya. “Kamu suka makan arum manis Din?” “Ngga terlalu siih, biasa aja.” “Terus, kenapa kamu beli arum manis yang dijual anak itu? Karena kasihan aja?” “Lu salah Rey. Dia bukan jualan arum manis.” “Maksudmu? Jelas-jelas dia jual arum manis, dan yang kamu beli pun arum manis kan itu.” “Ah, lu ngga tahu siih. Dia itu bukan sekedar jual arum manis. Tapi dia jual kebahagiaan.” “Jual kebahagiaan? Maksudmu apa sih Din?” “Lu nyadar ngga, kalau ada anak kecil yang merengek nangis minta dibelikan arum manis ke orang tuanya, lantas orang tuanya membelikan untuk anaknya itu, apa kira-kira reaksi anaknya?” “Hmmm, diem dari nangisnya. Mungkin kembali ketawaan lagi.” “Nah itu maksudku Rey. Tanpa disadarin, sebenernya yang anak kecil jual itu bukan sekedar arum manis. Tapi kebahagiaan dari seorang anak, sebuah keluarga. Dan, lu juga harus tau Rey, yang dikasih sama orang tua anak itu bukan sekedar uang lembaran ribuan, tapi juga kebahagiaan.” “Hmmmm.. aku ngerti maksudmu Din. Kebahagiaan dari anak penjual arum manis itu kan.” “Yap, betul banget. Karena kita kan ngga pernah tahu, seberapa pentingnya arti uang ribuan itu bagi mereka. Kadang selembar lima ribuan dari hasil satu arum manis, bisa berarti kebahagiaan dari adeknya yang bisa makan siang dengan nasi.” “Tapi berarti itu ngga cuma berlaku untuk arum manis aja dong Din?” “Iya memang. Semua penjual yang menjajakan dagangannya dengan niat dan cara yang baik, sebenarnya dia tidak hanya jualan barang, tapi juga kebagiaan.” “Gila kamu Din. Kadang-kadang pikiranmu bisa bersih juga ya, sekalipun kamu orangnya jorok.” “Heh, enak aja kamu bilang aku jorok di tempat umum begini. Turun pasaran niih nanti.” “Hahaha, becanda aku Din. Udahan yok istirahat makan siangnya. Lanjut berburu kebahagiaan lagi.” “Maksud lu Rey?” “Berburu kebahagiaan ku, t-shirt. Hahaha...” “Wuuuu, bisa aja lu sekarang.” “A’, udah makannya. Jadi berapa?” “Semuanya jadi 35 ribu Neng.” “Ini ya A’. Makasi.. Ayok Din, kita lanjutkan berburu kebahagiaan ku. Hehehe..” “Sssst..ngga usah kenceng-kenceng juga Rey bilangnya.” Dan setelah aku mendapatkan kebahagiaanku (makanan maksudnya), aku kembali menemani Reya berburu kebahagiaannya. Kedatangan anak kecil penjual arum manis tadi benar-benar mengingatkan ku pada sosok ibu di Malang. Beliau yang mengajarkanku tentang semua hal yang aku katakan pada Reya tadi ketika aku sempat merasa malu harus membawa jajanan pasar keliling kampung di sore hari untuk menambah pendapatan keluarga setelah kepergian almarhum ayah. Aku yang waktu itu masih berumur 8 tahun dan memiliki seorang adik perempuan berumur 5 tahun, tidak bisa berdiam diri saja melihat ibu bekerja sendiri untuk kebutuhan keluarga. Tapi sebagai anak kecil, wajar rasanya jika aku sempat merasa malu akan kondisi yang harus aku lewati itu. Untungnya ibuku selalu bisa menyadarkanku bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini, asal niat dan cara kita baik, itu bisa menjadi sumber kebahagiaan orang lain dan juga diri kita sendiri. “Din, aku uda dapet nih t-shirt nya. Ternyata setelah cari kemana-mana, ada disini kebahagiaanku. Hehehe..” “Hmmmm, akhirnya. Baguslah kalau gitu. Bisa pulang dong kita sekarang. Panas niiih.” “Eits, bentar. Aku mau cari satu lagi kebahagiaan.” “Hah, apa lagi Rey?” “Sepatu! Yoook, kita jalan lagi.” “Hadeeeh.. Bakal panjang niih perjalanan mencari kebahagiaan neng Reya.” ****

Jumat, 30 Desember 2011

sayangnya,kadang allah memberi yang tidak kita mau tapi kita butuh

Nadia datang dan menumpahkan ceritanya.

"dari dulu aku selalu bertanya-tanya dalam hati.kalau suatu saat aku dengar dia akhirnya menemukan cewek idamannya,apakah aku akan sedih?atau sudah akan biasa saja?apakah aku akan patah hati?atau...ah,aku ga mau membayangkan hal itu datang."

sayangnya, kadang Allah memberi apa yang tidak kita mau tapi sbenarnya kita butuhkan.

dan benar saja,hari itu datang.

hari ketika Allah membuka semuanya.memberi yang Nadia butuhkan.

KEIKHLASAN.

malam itu Nadia sedang berkonsentrasi mengejar target tugas nya untuk diselesaikan. ia sedang dalam semangat-semangatnya ketika tiba-tiba dia mendengar teman kosanya bercerita tentang seseorang yang sepertinya dia kenal dari kamar sebelahnya.

ternyata di kamar sebelah Nadia,ada beberapa teman kuliahnya yang sedang brkumpul dan mengobrol.saking serunya mereka mengobrol,suaranya sampai ke kamar Nadia.

samar-samar Nadia mendengarkan percakapan mereka.bukan maksud sengaja menguping.tapi ketika sekilas Nadia mendengar nama Ruben disebut,dia semakin seksama berusaha mendengarkan apa yang mereka obrolkan.

salah seorang teman Nadia itu bercerita dengan kerasnya kalau sekarang Ruben sudah memiliki kekasih baru.mahasiswi dari kampus tetangga.

sontak saja perasaan Nadia menjadi kacau.benarkah yang mereka bicarakan itu Ruben?Ruben yang Nadia kenal?Ruben yang sejak semester 1 menarik perhatian Nadia?Ruben yang sempat menjadi pengahrapannya Nadia?Ruben yang pernah dekat dengan Nadia?Ruben yang masih ada dipikiran Nadia sampai saat tadi dia mengerjakan tugas???

Ya allah,,benarkan itu dia?

seorang teman yang lain menyambung pernyataan temannya itu:

"maksud lu Ruben yang ganteng itu? yang anak Ekonomi itu?anak BEM juga.yang naik motor Jupiter?"

"iya ituu.Ruben yang mana lagi emangnya."

"emang kapan mereka jadian?"

"yah,baru sih,sekitar 2minggu an kayaknya."

"kok lu tau sih?gosip darimana tuh?"

"enak aja.ini bukan gosip.orang aku denger sendri pas kemarin kita kumpul bareng anak BEM."



mendengar semua deskripsi temannya itu,maka tidak salah lagi.itu memang Ruben yang Nadia kenal.Ruben yang pernah membuat hari-hari Nadia sangat berwarna.



seketika jari-jari Nadia yang semenjak tadi menar-nari diatas keybord laptopnya terdiam.sepertinya tidak ada tenaga lagi untuk menggerakkan otot-otot halus mereka.yang terasa hanya lemas.semua komando otak beralih ke pembuluh-pembuluh tipis di sekitar mata Nadia.berusaha menahan perintah langsung dari hati yang menginstruksikan untuk mengeluarkan butiran-butiran air mata.

perang antara perintah otak dan hati pun membuat Nadia hanya bisa termangu tak berdaya.tak tau mana yang harus diikuti.

tapi sayangnya hati memegang kendali lebih kuat dibanding otak Nadia.

rasio nya kalah oleh luka di hatinya.

maka gerbang di bendungan matanya pun terbuka seketika.

satu tetes, dua tetes, tiga tetes, sampai akhirnya mereka semua keluar tak terhitung lagi.

sekarang Nadia tak ubahnya seperti patung yang bisa menangis.

badannya hanya kaku tak bergerak.tapi air matanya terus menetes.



ya Allah....air apakah ini?kenapa aku ini?



untungnya otak Nadia masih bisa sedikit mengambil kendali kembali.jemarinya digerakkan lagi,berusaha menari-nari lagi diatas keyboard demi kewajibannya. sekuat tenaga pasukan-pasukan kecil di sekitaran danau airmatanya ia perintahkan untuk membangun bendungan lagi. perlahan-lahan mulai berkurang air yang menetes.



Nadia terus berusaha menulis,berusaha tidak memikirkan hatinya yang luka.mengacuhkannya.membuangnya ntah kemana.

tapi rasa sedih itu masih saja mengikuti.

tak tahan dengan semua itu, Nadia menutup laptopnya dan menjatuhkan badannya yang sudah lemas ke atas dekapan kasur.

ditutupnya muka dengan bantal yang bisa ia raih.kemudian menangislah ia tanpa bisa dilihat siapapun air mata itu.

badannya gemetar.hanya ada sakit yang ia rasa.



berulang kali ia menyebut asma Allah. ya Allah...tolong jangan biarkan aku menangis..



sia-sia.



yang kemudian dia lakukan demi menghindari airmata itu adalah diambilnya headphone dan mendengarkan lagu dari henfon nya. di stel nya keras-keras volume.sehingga ia tak perlu mendengarkan suara-suara dari luar.

berlagaklah ia bahwa tidak ada yang terjadi. bahwa hatinya tidak sedang terluka. dia tahu, kalau teman-temannya tahu dia sedang terluka maka yang ia dapat kan tidak lebbih dari rasa kasihan. dan dia tidak mau dikasihanni.tidak untuk ini!

dia adalah sosok yang kuat dimata teman-temannya.



maka semalam itu, Nadia terus berusaha melanjutkan pekerjaannya dengan headphone yang terpasang ditelinga, berusaha mengabaikan suara diluar, berusaha terlihat baik, berusaha melupakan rasa sakitnya.



sedikit yang masih bergelayutan di pikiran Nadia;

sudah berakhir. sekaranglah saatnya aku berhenti. berhenti mengharapkannya. berhenti memikirkannya. berhenti mencemaskannya. karena sekarang sudah ada yang jauh lebih bisa menjaganya. yang bisa menemaninya. yang bisa mengingatkannya ketika ia salah. yang bisa mendengarkan ceritanya ketika ia bosan dengan rutinitasnya. yang bisa mendoakannya untuk tetap di jalan Allah.

cukup sampai hari ini saja. inilah yang ingin Allah sampaikan kepadaku.

ikhlaskanlah ia dan cukupkanlah kamu menghabiskan hari mengingat kenangan-kenangan dulu waktu bersama.

sekarang saatnya Nadia. saatnya merelakannya. ini lah yang Allah mau. inilah yang kamu butuhkan. meskipun tidak kamu mau. tapi itu yang harus kamu tahu.



Allah itu Maha Tahu Nadia. Dia tahu segalanya. percayalah padaNya. kalau memang kamu bertemu dan mengenalnya karena Allah, maka demi Allah, suatu saat kalau memang Allah berkehendak maka Dia akan memberimu sesuatu yang juga kamu harapkan. sama seperti saat akhirnya kau bertemu dengannya.saat itu terasa sudah tidak mungkin dalam jangkauan manusia, maka tidak seperti itu untuk Allah.



"sesungguhnya Allah selalu bersamaku"

i'll be fine.

Kamis, 03 November 2011

dalam sebuah tokoh

ini hanya sepenggal cerita sederhana dari seorang tokoh yang selanjutnya diberi nama Aku.

aku itu seorang cewek yang sederhana,ga gaul,pergaulannya hanya itu-itu saja.
tapi terkadang dia bisa menjadi seorang yang sangat friendly dan gemar membuat keseruan.
inilah yang sempat membawa nya bertemu , berkenalan, dan akhirnya bersahabat dengan tokoh lain yang selanjutnya disebut dia.
Aku sama sekali tak pernah mempunyai ekspektasi besar kalau aku akan bersahabat dengan dia. orang yang sudah lama aku temui, tapi hanya sekali.
tapi terkadang, ketika kita tidak percaya bahwa itu bisa terjadi, maka Tuhan akan memberikan sebaliknya. dan itu terjadi pada aku.

bertemu lagi dengan dia adalah sebuah takdir dan tidak ada dalam rencana aku.
tapi selanjutnya, akan sedikit menjadi bagian rencana aku.
aku berencana membantu dia , untuk bisa menjadi teman dia.
aku mulai mencoba memberanikan diri untuk berteman dan kemudian bersahabat dengan dia.
karena aku cuma ingin merasakan bagaimana mimpi aku itu bisa menjadi nyata.
dan bisa dibilang aku berhasil.
aku dan dia akhirnya sempat bersahabat.
aku dan dia bercerita tentang masalah mereka,keseharian mereka,dan bahkan sesuatu yang tidak terlalu penting untuk diceritakan.

tetapi, ada satu hal yang membuat aku merasa sangat beruntung bersahabat dengan dia.
kadang ketika aku hanya bercerita kalau aku takut menghadapi sesuatu, maka dia akan menghubungi aku dan memberikan semangat nya. semangat yang sebenarnya biasa saja, yang lazim diberikan oleh sahabat-sahabat aku lainnya.
tetapi tidak semua sahabat aku melakukan ini. menelpon aku hanya untuk memberi semangat kecil.
bahkan ketika aku hanya bercerita kalau aku sedang gembira karena sesuatu, maka dia akan menelpon aku bahkan tanpa aku duga.
dia menelpon cuma untuk mendengarkan cerita gembira aku.
itu yang membuat aku bersyukur bersahabat dengan dia.
sangat bersyukur.

tapi semester ini sudah lain cerita nya.
aku tak bisa lagi bercerita pada dia tentang ketakutannya menghadapi ujian.
aku tak bisa lagi bercerita pada dia kalau aku berhasil melalui ujian itu.
aku tak bisa lagi keluar ruang ujian dan kemudian membuka ponsel hanya untuk menerima pesan singkat penyemangat dari dia.

maka ketika aku berjalan keluar dari ruang ujian, ada sesuatu yang hilang yang aku rasain.
terlebih ketika aku harus berada dalam kamar yang sepi tanpa seorang teman.
aku cuma bisa mengingat dia yang dulu pernah menjadi sahabat cerita aku , sahabat bertengkar aku.

dia yang sudah cukup lama tak pernah bercerita lagi dengan aku,
dia yang sudah cukup lama tak pernah bertengkar lagi dengan aku,
dia yang sudah cukup lama tak pernah lagi sekedar menyapa aku.
dan dia yang sudah cukup lama tidak lagi menjadi sahabat aku.

tapi dia masih selalu menjadi tokoh dalam setiap cerita aku.

Minggu, 28 Agustus 2011

0,1%

melihat dia pertama kali,benar-benar memalingkan pandanganku .
waktu itu awal perantauan.

wajahnya benar-benar bersinar. setidaknya menurutku .
begitu indahnya sampai tak berani diimpikan.
lalu aku mulai menyebutnya si ganteng.

aku tau mungkin kesempatan ku untuk mengenalnya hanya 0,1%.
karena itu, aku hanya terus menyebutnya si ganteng.
tapi itu hanya bertahan sebagai serangan awal saja.
selanjutnya aku tak pernah lagi melihatnya.dan kemudian aku mulai lupa.
sampai hampir 2tahun kemudian . .

lagi-lagi,dia melakukannya.
shock attack!
dia datang dengan tiba-tiba ke dalam sebuah ruangan dimana aku juga sedang ada di dalamnya.
aku yang waktu itu sedang tertunduk malas mendengarkan,
tiba-tiba tersadarkan dengan suara pintu yang terbuka.
dan ketika mengangkat wajah,
aku kaget!
diantara rasa percaya dan tidak.
bermenit-menit aku melihat wajahnya.
mencoba meyakinkan diri.
apakah itu dia yang dulu aku panggil si ganteng??

subhanallah, maha besar allah .
ternyata itu memang dia.

maka sepanjang waktu itu, aku hanya bisa tersenyum tak percaya.
akhirnya aku bisa melihatnya lebih dekat.lebih nyata.
si 0,1% itu akhirnya terpenuhi!!
kalau Allah berkehendak, maka 0,1% pun bisa terpenuhi.

aku memberanikan diri untuk kemudian menjadi temannya.
membantunya mendapatkan rencananya.
karena aku berharap, aku bisa membuat nya tersenyum.
membuat si 0,1% mimpiku tersenyum.
setidaknya mungkin ini caraku bersyukur pada Allah
telah memenuhi kemungkinan 0,1%ku.

dan aku pernah berhasil membuatnya tersenyum!

aku mengagumi mu pada awal aku melihatmu secara tak sengaja.
aku mengagumi lagi pada kedua kali aku melihatmu secara tak sengaja.
dan kemudian, aku berhasil menjadikan diriku sahabatmu pada berjalannya waktu.
dan selanjutnya, aku berharap, aku akan terus menjadi sahabatmu .
walau kesempatan itu hanya 0,1% !

semoga kau terus menjadi 0,1% ku yang terkabul.

:)

Rabu, 20 April 2011

diary rebellista I

kalo aku bisa ungkapin semua yang ada di hati dan otakku tanpa perlu menulis ,mungkin sudah berlembar-lembar kertas yang aku habiskan .
dari yang seneng , sedih, gila,ngawur,ngaco ,dan kawan-kawannya .
banyak sekali yang pengen aku bagi ke semua orang .pengalamanku yang barang kali berguna .
(sok berguna dikit lah)
tapi ketika dihadapkan pada sebuah layar ,semuanya buntu .
seperti seakan-akan ga ada kata yang tepat untuk ungkapin semuanya.
bingung mulai darimana,bingung pake kata-kata apa,bingung bingung bingung . . . .
:D
oke mari kita coba .
pertama-tama , aku pengen cerita tentang , mmm apa ya ?
tuh kan bingung lagi .
oke lah , mulai dari aku lahir ajah .
eh , tapi aku aja gag tau gmn kondisiku and perasaanku pas lahir .
gag inget euy gmn situasi dan kondisi waktu itu .
jadi gmn dong ?
#bingung lagi .
oke, mulai SD aja ah .
eits ,yang ini aku inget banget gmn rasany .
singkat cerita, pas kelas tiga SD aku punya temen deket cowok .namanya LH .
dia kembar and pindahan dari Jabar kalo gag salah.
ntah kenapa aku bisa deket ma dia.
and someday ,dia pernah blg kalo suka aku .
ciiieee , , ,anak SD aja uda main suka-sukaan .
jadi maluuuu . . .hehehe ,
tapi malang nya ,sebelum aku sempat blg kalo aku juga suka dia ,
dia uda terlanjur pindah lagi .
makin malangnya lagi ,di hari dia pergi ,aku pas gag masuk sekolah karena sakit .
alhasil gag sempet ngucapin perpisahan .
lebih malang lagi , jaman dulu belum punya hape .jadi gag bisa telp apa sms .
.........
rasanya ada yang masih ngeganjel .
aku nyoba nyari keberadaannya tapi gag ketemu .
jejaring sosialpun gag bisa bawa aku ketemu dia .
huhuhu , , ,
yasudalah . . . .siapa tau suatu saat aku bisa ketemu dia lagi .
:D
masa SD adalah masa kejayaanku .
karena aku menjadi kepercayaan guru-guru ,jadi juara kelas ,
semua temen deket dengan ku .
bahkan ,soal kuis aja aku yang bikin and ngoreksi .
gila gag tuh !!
hahahaha , , , (bukannya sombong loh)
:D
aku punya sahabat baik di SD. namanya VNH .
dia uda kayak kembaranku .
dimana ada aku,ada dia .
sama-sama pecinta kucing !!
:D
eh stop dulu ya .
tiba-tiba ada yang mengganggu jantungku .
tar lanjut lagi . . .
ciiiaaooo , , ,
:P